Tembiluk: Si “Cacing Kayu” yang Menjadi Keunikan Kuliner dan Budaya
Dalam ragam kekayaan kuliner nusantara, terdapat satu hewan yang meskipun tampak asing bagi banyak orang, namun punya tempat istimewa di beberapa daerah: tembiluk (dikenal juga sebagai tambelo, tambiluk, atau dalam istilah internasional “wood-boring shipworm”). Di kalangan suku Dayak, Kamoro, dan masyarakat pesisir lainnya, tembiluk bukan sekadar bahan makanan — melainkan bagian dari tradisi dan identitas lokal.
![]() |
| Gambar by: AI |
Apa Itu Tembiluk?
-
Nama ilmiahnya adalah Bactronophorus thoracites.
-
Meskipun sering disebut “cacing”, tembiluk sebenarnya adalah moluska bivalvia — yaitu organisme bertubuh lunak yang berkaitan dengan kerang dan remis — namun bentuk tubuhnya yang memanjang dan bentuknya yang menyerupai cacing membuatnya dikira “cacing rawa”.
-
Habitat utama: kayu atau batang pohon bakau yang telah membusuk atau lapuk, terutama yang berada di zona payau (campuran air laut dan air tawar).
-
Ukuran tubuhnya bisa mencapai sekitar 30 cm dalam kondisi penuh.
-
Warna tubuh biasanya putih pucat.
Peran Ekologis Tembiluk
Walau tampak “menggerogoti” kayu, keberadaan tembiluk punya fungsi penting:
-
Pelapukan Kayu BakauDengan kemampuannya melubangi kayu, tembiluk membantu proses penguraian kayu bakau yang mati atau lapuk, mempercepat daur ulang bahan organik dalam ekosistem mangrove.
-
Indikator Ekosistem PayauKarena hidup di pohon bakau lapuk, keberadaan tembiluk bisa menunjukkan kualitas ekosistem mangrove dan tingkat degradasinya.
Namun, di sisi lain, tembiluk juga dianggap sebagai hama kayu (wood-boring) karena bisa merusak struktur kayu, seperti kayu kapal, dermaga, atau tiang kayu jika tidak dijaga.
Tembiluk sebagai Kuliner Tradisional
Penyebaran Konsumsi
Tembiluk dikenal sebagai bagian dari kuliner tradisional di:
-
Kalimantan, khususnya Kalimantan Utara (Suku Dayak Bulusu)
-
Wilayah Papua (Suku Kamoro) — disebut dengan nama tambelo
-
Beberapa daerah di Sulawesi Tenggara juga melaporkan konsumsi hewan ini
Cara Mengambil dan Memperoleh
-
Mencari kayu bakau lapuk — kayu itu biasanya sudah berlubang dan menunjukkan bercak-bercak kecil dari aktivitas tembiluk.
-
Memecah kayu dengan kapak atau alat tajam untuk membuka rongga kayu.
-
Membersihkan tembiluk — mencucinya agar kotoran atau sisa kayu hilang.
-
Mengonsumsi:
-
Umumnya dimakan mentah atau diseruput langsung dari dasarnya setelah dibersihkan.
-
Ada pula yang merendamnya dalam air jeruk nipis atau menambahkan sambal untuk mengurangi aroma amis dan memperkaya rasa.
-
Kadang juga diolah seperti makanan laut: dibumbui dan dimasak ringan.
-
Rasa dan Persepsi
-
Beberapa orang menyebut rasa tembiluk mirip cumi mentah dengan sedikit aroma kayu dan rasa “anyir”.
-
Karena teksturnya lembek dan “geliat”, banyak yang lebih memilih menyantapnya cepat (diseruput) daripada dikunyah lama.
-
Bagi sebagian besar penduduk setempat, konsumsi tembiluk bukan sekadar soal rasa — ini bagian dari identitas, tradisi, dan atraksi budaya.
Nilai Gizi & Kegunaan Kesehatan
Menurut beberapa sumber:
-
Tembiluk mengandung protein, lemak, karbohidrat, serta air dalam komposisi tertentu.
-
Beberapa kepercayaan lokal menyatakan tembiluk punya manfaat seperti:
-
Memperkuat tubuh
-
Menambah nafsu makan
-
Membantu penyembuhan penyakit ringan seperti batuk, flu, dan rematik
-
-
Namun, klaim medis tersebut belum banyak dibuktikan melalui penelitian klinis modern.
Tantangan Pelestarian & Etika Konsumsi
-
Eksploitasi berlebihan: Jika diambil secara tidak terkendali, habitat bakau bisa rusak, mengurangi populasi tembiluk dan merusak sistem ekosistem mangrove.
-
Kontaminasi lingkungan: Kayu dalam zona industri atau daerah dekat polusi bisa menyerap senyawa berbahaya, sehingga konsumsi tembiluk dari area yang tercemar bisa berisiko.
-
Pendidikan & persepsi masyarakat: Karena tampilannya yang unik dan dianggap “ekstrim” oleh sebagian orang, perlu pendidikan agar konsumsi dilakukan dengan aman dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Tembiluk (atau tambelo / tambiluk) adalah makhluk moluska unik yang hidup di dalam kayu bakau lapuk dan telah menjadi bagian warisan budaya dan kuliner beberapa komunitas di Indonesia. Dari perspektif ekologi, ia membantu mendaur ulang kayu mangrove yang mati. Dari sisi budaya, menjadi hidangan eksotik yang dipersembahkan dalam konteks tradisi. Namun, konsumsi dan pemanfaatannya harus dilakukan dengan bijak agar tidak merusak habitat dan ekosistem pesisir.
