Kenapa Indonesia Sulit Lepas dari Korupsi? Bandingkan dengan Singapura dan Korea

Daftar Isi

    Korupsi adalah penyakit kronis yang dapat melumpuhkan sebuah negara. Ia seperti rayap yang perlahan menggerogoti fondasi hingga rapuh tanpa terlihat. Namun, sejarah dunia membuktikan bahwa negara yang pernah tenggelam dalam lumpur korupsi ternyata bisa bangkit menjadi negara maju. Ironisnya, Indonesia, dengan segala potensinya, masih terus berkutat dalam lingkaran yang sama. Mengapa bisa begitu? Mari kita bahas lebih dalam.

Korea Selatan: Dari “Sarang Korupsi” Menjadi Harimau Asia

Beberapa dekade lalu, Korea Selatan bukanlah negara modern yang kita kenal sekarang. Pada tahun 1960-an, negara itu bahkan lebih miskin daripada sebagian negara Afrika. Korupsi merajalela, birokrasi berbelit, dan rakyat hidup pas-pasan. Namun, sebuah perubahan radikal terjadi. Pemerintah mulai memperketat aturan, mendirikan lembaga anti-korupsi yang tegas, dan yang terpenting: hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.

Bahkan presiden mereka, Roh Tae-woo, pernah dipenjara karena kasus korupsi. Bayangkan, seorang mantan kepala negara diperlakukan sama di hadapan hukum. Dari sinilah pesan kuat tersampaikan: tidak ada yang kebal hukum. Perlahan, budaya korupsi berkurang, ekonomi tumbuh, dan Korea Selatan kini menjadi salah satu negara maju dengan teknologi mendunia.

Singapura: Dari Pelabuhan Kumuh Menjadi Negeri Disiplin

Singapura pada tahun 1960-an juga terkenal dengan birokrasi kotor. Korupsi merajalela di kepolisian, bea cukai, hingga lembaga pemerintahan. Namun, Perdana Menteri Lee Kuan Yew tidak memberi ruang toleransi. Ia mendirikan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) yang sangat independen. Siapa pun yang terbukti korupsi, meski hanya pejabat kecil, akan langsung diberi hukuman berat. Tidak ada kompromi.

Hasilnya? Singapura kini menjadi salah satu negara paling bersih dari korupsi di dunia, bahkan masuk jajaran pusat keuangan global. Rakyat percaya pada pemerintah, dan investor pun berbondong-bondong menanam modal.

Indonesia: Negeri Kaya yang Tidak Pernah Selesai dengan Korupsi

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, tanah subur, sumber daya alam melimpah, dan penduduk yang kreatif. Sayangnya, potensi besar itu tak pernah benar-benar termanfaatkan karena korupsi seakan sudah mendarah daging.

Kasus demi kasus muncul setiap tahun. Dari pejabat daerah hingga pusat, dari DPR hingga lembaga swasta yang bekerja sama dengan pemerintah—semuanya pernah tercoreng. Bahkan, rakyat sudah tidak lagi terkejut jika mendengar ada pejabat yang ditangkap KPK. Seolah-olah berita itu sudah jadi rutinitas. Ironis, bukan?

Lebih miris lagi, hukuman di Indonesia masih sangat “lunak”. Banyak koruptor yang mendapat potongan hukuman, bisa hidup nyaman di penjara, bahkan masih bisa tersenyum lebar di depan kamera. Bandingkan dengan Singapura yang menghukum keras tanpa pandang bulu. Bedanya bagaikan bumi dan langit.

Mengapa Indonesia Sulit Berubah?

Ada beberapa alasan mengapa Indonesia terasa begitu sulit keluar dari lingkaran setan korupsi:

  1. Budaya “asal ada bagian”
    Banyak orang masih menganggap wajar memberikan uang pelicin agar urusan cepat selesai. Dari hal kecil inilah korupsi berakar. Jika rakyat sudah terbiasa “damai di jalan”, bagaimana pejabatnya tidak ikut mencontoh?

  2. Hukum yang bisa ditawar
    Hukum di Indonesia sering kali tajam ke bawah, tumpul ke atas. Rakyat kecil yang mencuri karena lapar bisa dihukum berat, sementara pejabat yang merugikan negara miliaran rupiah masih bisa dinegosiasikan.

  3. Politik uang yang mengakar
    Dari pemilihan kepala daerah hingga pusat, biaya politik sangat besar. Akibatnya, begitu terpilih, pejabat sering kali mencari cara “balik modal”, yang ujung-ujungnya membuka pintu korupsi.

  4. Kurangnya keteladanan pemimpin
    Di negara yang berhasil berubah, pemimpinnya memberi contoh nyata: berani tegas, berani transparan, dan tidak kompromi pada keluarga maupun kroni. Indonesia masih kekurangan figur yang benar-benar berani menabrak kepentingan elite.

Haruskah Kita Putus Asa?

Meskipun pahit, bukan berarti harapan itu tidak ada. Indonesia memiliki generasi muda yang semakin kritis dan berani bersuara. Media sosial menjadi alat untuk mengawasi pejabat publik. Lembaga seperti KPK masih menjadi harapan terakhir meski berkali-kali dilemahkan.

Namun, perubahan tidak bisa hanya menunggu dari atas. Rakyat juga harus berhenti membiasakan budaya kecil yang koruptif. Tidak lagi membenarkan “uang rokok” atau “uang terima kasih” sebagai hal biasa. Jika dari bawah sudah bersih, maka ke atas pun akan semakin sulit untuk berbuat curang.

Penutup: Antara Emosi dan Harapan

Melihat Korea Selatan dan Singapura, jelas terbukti bahwa negara terkorup pun bisa berubah. Tapi mengapa Indonesia tidak pernah selesai dengan masalah ini? Jawabannya sederhana: karena korupsi masih dianggap lumrah, hukum masih bisa dinegosiasikan, dan pemimpin belum berani menindak tegas.

Sobat, marah itu wajar. Kecewa itu manusiawi. Tapi jangan berhenti di situ. Perubahan hanya akan lahir jika kita semua, dari rakyat biasa hingga pejabat tinggi, berani berkata: cukup sudah!.

Indonesia terlalu kaya untuk terus miskin karena ulah segelintir orang. Jika negara lain bisa berubah, mengapa kita tidak?